Ketika saya memikirkan tentang suatu hal tiba-tiba saya menemukan satu tulisan, bisa dibilang ini adalah opini dari seseorang atas apa yang ditelusurinya dalam menjalin suatu hubungan sakral.Mari kita simak bersama :
Hmmm…. Manusiawi bila kita mempunyai harapan (ekspektasi), cita-cita maupun fantasi trutama ttg keindahan dan kebahagian berpasangan dlm konsep berumahtangga. namun hal ini janganlah membuat kita sulit menerima kenyataan bila ternyata pengkaryaan (creating) keputusan kita ternyata tidak sepadan dgn ekspektasi sebelumnya; terkecuali bila sebelumnya memang ada ‘ketidak-hadiran’ atau ‘keterpaksa-hadiran’ kita dlm proses creating tsb. kita harus menyadari bhw implikasi psikologis dari ‘kesalahan’ dlm ‘konsep’ berumahtangga (hidup berpasangan) yg kita pilih/miliki akan sangat menentukan pencapaian “kebahagiaan” yg diidamkan.
Kita tak bisa hanya memaknai sebuah pernikahan sebatas hanya komitmen hidup berpasangan antara 2 individu saja. lebih dari itu, sejatinya pernikahan merupakan kesadaran pilihan 2 individu utk menyepakati kesucian ‘perasaan bersama’ yg diyakini sbg ‘jalan’ dari tuhan utk membahagiakan hidup bersama. intinya… bila kita meragukan bahkan menggugat pernikahan, sebenarnya kita tak ubahnya sedang menggugat ‘kesadaran diri’, ‘perasaan bersama’ dgn pasangan hidup terpilih, terlebih lagi menggugat ‘kesucian’ jalan tuhan dan keyakinan atas kebahagian meniti di jalan-Nya.
Bila pernikahan kita sedang dlm masalah, sebaiknya kembali merujuk pd orientasi semula, ikhlaskan kembali pd ‘kejujuran’ keyakinan semula bhw kita merasa ‘terpilih’ utk pasangan kita dan begitupun sebaliknya dia ‘terpilih’ utk kita; sama-sama terpilih utk membawa ‘amanah’Nya yg semula disanggupi utk mengembannya bersama, keyakinan bhw kebahagiaan maupun kedukaan meniti jalanNya adalah bagian dari menjemput hikmah pembelajaran guna memperbaiki kesalahan2 berikutnya.
Sejatinya, tak ada yg benar-benar merasa siap dan sanggup mengemban sebegitu mulia dan agung tanggungjawab dlm ikatan pernikahan bila tanpa mengingat pahala dan kebajikan yg dijanjikan-Nya sebagai tebusannya. sayangnya, kita selalu berpikir di sebagian sisi saja, lebih menganggap pernikahan sama halnya membeli kebebasan diri dlm berekspresi, menyatakan pendapat, berpikir, berfantasi, berkarya, dst - hingga melupakan bhw pernikahan adalah ‘menyatukan’ dunia, pendapat, pemikiran, kebiasaan, dst. kepincangan perspektif inilah yg justru menyeret kita mempersiapkan diri menyambut 1001 masalah beserta faktor pencetus dan alternatif pemecahannya, hingga lupa tentang bagaimana memperhatikan dan mengurusi perasaan, emosi dan juga harga-diri pasangan.
hmmm.... "Tak ada yg lebih membahagiakan drpd memiliki seseorang yg bersedia mendampingi di sisa perjalanan hidup kita. sepatutnya teruslah mencari dan belajar bagaimana mencintai, mencukupkan dan memenuhkan kebahagiaan bersama pasangan, sembari tak henti meminta petunjuk dan kerelaan Tuhan agar selamat meniti jalan-Nya".